Payung Hitam
Karya : Feronica
Christiani
Malam itu hujan turun
sangat deras, aku keluar dari rumah dengan memakai kaos polos berwarna hitam,
kemudian aku memilih payung hitam agar terlihat serasi dengan pakaianku. Aku
berjalan menyusuri malam untuk pergi ke apotek 24 jam, ibu memintaku membeli
antibiotik untuk adikku yang sedang demam tinggi, aku tidak tahu dia sakit apa,
sudah tiga hari panas nya tak kunjung reda, mungkin sakit radang tenggorokan,
atau mungkin juga demam berdarah. Jalan dari rumahku ke apotek sebenarnya tidak
terlalu jauh, tapi hujan lebat ini membuat perjalananku sedikit terganggu.
Untung saja lampu-lampu jalan cukup terang untuk menemani langkahku. Pandangan
ku tertuju kepada sesuatu berwarna putih yang sedang mengerang di samping
telepon umum, seekor anjing. Dari parasnya sepertinya ia seekor anjing kampung
yang tak bertuan, entah kabur dari rumah atau memang tidak punya tuan. Ia
meringkuk kedinginan, sepertinya atap telepon umum tidak mampu melindungi
dirinya dari serbuan air hujan. Rasanya ingin sekali membawa pulang anjing itu
ke rumah. Dari kecil aku selalu tidak tega melihat binatang yang sedang
kesusahan, aku sempat trauma karena ayahku pernah melindas seekor anak kucing,
dan saat itu aku sedang dibonceng olehnya. Anak kucing yang malang, aku masi
ingat betul anak kucing itu menggelinjang kesakitan lalu mengeluarkan darah
dari mulutnya kemudian mati. Aku menangis di jalan waktu itu, turun dari motor,
dan banyak orang datang mengerumuniku. Bahkan ada seorang bapak yang berkata
“sudah jangan nangis, nanti beli lagi kucing yang baru”. Padahal yang terlindas
itu memang bukan kucingku. Sejak saat itu, aku selalu merasa terenyuh, iba,
atau apalah namanya saat aku melihat binatang yang kesakitan. Kembali
kupandangi anjing yang malang itu, namun buru-buru kuurungkan niatku untuk
membawa anjing itu pulang, ibu pasti akan marah besar, apalagi adikku sedang
sakit, sangat tidak mungkin membawanya pulang. Anjing itu bangun dan beranjak
dari tempatnya, sepertinya ia akan mencari tempat lain untuk melindunginya dari
hujan, pandangannya tertuju kepada sebuah kursi kayu panjang di seberang jalan,
pasti ia ingin berlindung di kolongnya, ide yang cukup bagus. Dengan langkah
yang lunglai ia menyebrang jalan, dan “BRAAAAAK !” sebuah mobil yang sedang
melaju kencang menghantam tubuhnya. Aku terdiam, benar-benar tidak tahu aku
harus apa,seakan-akan kakiku dipaku di tempat itu, air mata langsung
bergelinang dengan cepatnya, aku juga merasa mual ingin muntah melihat darah
segar yang berceceran itu ,seolah bau amis menusuk dari rongga hidung sampai ke
tenggorokanku. Ah andai aku tak mengurungkan niat baik itu, penyesalan yang
sungguh dalam menghantuiku, dan aku tahu hantu penyesalan pasti akan
mengikutiku terus sampai waktu yang lama. Tetesan air hujan berbisik agar aku
segera meniggalkan tempat itu. aku tidak akan mungkin menghampiri anjing itu,
aku tidak sanggup, mungkin aku bisa pingsan bila aku nekat menghampirinya. Aku
hanya memandangi mayatnya dari jarak ku berdiri, kuperhatikan bulunya sangat
putih dan terlihat lembut seperti awan, kukunya panjang tak terawat, melingkar
seperti sabit. Aku tak tahan lagi, aku berlari meninggalkan tempat itu, otakku
menjadi tak karuan, jelas sekali terbayang dibenakku sebuah mobil yang melaju
kencang bagai kereta api menabraknya. Rasa benci melingkupi hatiku, aku sungguh
benci kepada siapapun yang mengendarai mobil itu, sumpah serapah dan caci maki
pun terlontar dari mulutku. Sungguh keterlaluan menabrak seekor anjing yang
malang kemudian pergi begitu saja tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Aku benci !
Aku tahu, kematian
memang bisa datang kapan saja dan dan di mana saja, juga kepada siapa saja.
Kita tidak tahu kapan maut datang menghampiri kita, sudah siapkah kita
menghadapi itu semua? Kuhela napas panjang. Berusaha menguatkan hatiku. Memang
hanya seekor anjing, tapi ia hidup, ia punya rasa sakit. Apa salah jika aku iba
?
Kembali kulanjutkan
perjalananku, aku sempat lupa mau pergi kemana saat itu. namun terbayang wajah
adikku yang pucat dan kesakitan, menunggu untuk meminum obat yang semoga saja
bisa menyembuhkan penyakitnya. Apotek yang kutuju sudah terlihat, beberapa
meter lagi aku sampai. Aku masuk ke apotek 24 jam itu, tidak lupa menutup
payung hitamku dan menaruhnya di tempat payung yang sudah disediakan apotek
itu.lalu pandanganku langsung tertuju kepada seorang ibu setengah baya yang
sedang menangis dengan histerisnya sambil memegang telepon, menurut analisisku
sepertinya ia sedang membeli obat untuk anaknya yang sedang sakit keras namun
kemudian mendapat telepon dari suaminya kalau anaknya baru saja meninggal. Aku
juga sempat mendengar beberapa ucapannya saat menelepon, dan aku semakin yakin
bahwa analisaku itu benar, sungguh malang ibu itu. ia berlari keluar dari
apotek dan membuang kantong plastik berisi obat yang baru saja dibelinya.
Lagi-lagi aku merasa kakiku dipaku dan aku tak bisa bergerak. Sungguh iba
melihat kejadian itu.
kematian memang bisa
datang kapan saja dan dan di mana saja, juga kepada siapa saja. Kita tidak tahu
kapan maut datang menghampiri kita, sudah siapkah kita menghadapi itu semua?
Kuhela napas panjang.
Sudahlah. Kubeli
beberapa macam obat yang dipesan oleh ibuku, kemudian menunggu sejenak dan
membayarnya dikasir.
Aku keluar dari apotek
mengambil payung hitamku dan membukanya, sepertinya hujan sudah agak reda. Aku
melangkah pulang, langkahku terasa berat dan lambat, ini mungkin efek dari dua
kejadian memilukan yang kulihat berturut-turut. Astaga aku lupa, aku tidak
mungkin lewat jalan yang sama, aku tidak mungkin sanggup melewati mayat anjing tadi.
Namun tidak ada jalan lain lagi, itu satu-satunya jalan menuju rumahku. Sudah
terbayang di otakku bangkai anjing malang itu sudah hancur digilas oleh
mobil-mobil lain yang melintas di jalan. Perasaan mual kembali menohok
tenggorokan sampai lambungku, dan hantu penyesalan kembali menari-nari
mengitariku. Apa boleh buat, tidak ada
pilihan lain. Ya, sudah semakin dekat dengan lokasi tersebut, dari jauh sudah
bisa kulihat sesuatu berwarna putih yang menggeletak kuyup, mayatnya masi utuh,
berarti jarang ada mobil yang melintas atau mungkin juga melintas namun
menghindari bangkai tersebut, sudah semakin dekat, aku semakin panik. Aku
berpikir untuk memejamkan mataku dan berlari sekencang mungkin sampai melewati
perempatan jalan sehingga saat aku membuka mata, aku sudah melewatinya. Ya,
kurasa itu satu-satunya cara agar aku bisa berhasil pulang tanpa harus pingsan
di jalan karena tidak kuat melihat anjing malang itu. kututup payung hitamku,
karena sepertinya aneh berlari sambil memejamkan mata sambil memakai payung,
lagipula hujan juga sudah reda, hanya sebatas gerimis. Kupejamkan mataku, lalu
aku berlari lurus sekencang-kencangnya sampai aku merasa cukup untuk kembali
membuka mata, aku terus melaju dan “BRAAAAAAK!” kurasa sebuah mobil yang melaju
kencang menghantam tubuhku. kematian memang bisa datang kapan saja dan dan di
mana saja, juga kepada siapa saja. Kita tidak tahu kapan maut datang
menghampiri kita, sudah siapkah kita menghadapi itu semua? Kuhela napas
panjang, yang merupakan napas terakhirku.